Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya diakui dalam Undang-undang tindak pidana khusus (diluar KUHP), sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) korporasi tidak diakui sebagai subjek hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat E. Utrecht (Edi Yunara, 2005 ;12) berkaitan dengan badan hukum (korporasi) dalam KUHP, E. Utrecht menyatakan:
Pasal 59 KUHPidana, yang mengandung ancaman hukuman
terhadap pengurus dan korporasi suatu badan hukum (rechtpersoon) (korporasi dan yayasan) karena disangka (diduga)
telah melakukan suatu delik, hanya berlaku dalam hal pelanggaran saja.
Lebih lanjut E.
Utrecht :
Yang dihukum
menurut Pasal 59 KUHPidana ialah komisaris atau anggota pengurus suatu badan
hukum orangnya satu perusahaan publik satu (JONKERS Handboek, hal. 177). Tidak dikatakan bahwa Pasal 59 KUHPidana
tercantum suatu tanggung jawab kolektif (collectieve
aansprakelijkheid) komisaris atau anggota pengurus suatu badan hukum
(JONKERS Handboek, 19).
Perkembangan hukum pidana yang mengakui korporasi sebagai
subjek tindak pidana sampai sekarang masih menjadi masalah, sehingga timbul
sikap pro dan kontra. Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan
sebagai berikut:
1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah.
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiel, yang
merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan,
dan sebagainya).
3.
Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan
orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi.
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan
sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
5. Bahwa di dalam praktik tidak mudah
untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah
pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan
dipidana.
Sedangkan
yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan
hal-hal sebagai berikut:
- Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi dan pengurus, atau pengurus saja.
- Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula.
- Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyrakat,
yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka
tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu
menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
- Pemidanaan
korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan
pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri (Muladi dan Dwidja
Priyatno, 1991 : 31-32).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap pertanggungjawaban
korporasi sebagai subjek tindak pidana, Oemar Seno Adji (Setiyono, 2005 : 11)
berpendapat “ … kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan,
didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula
atas dasar teoritis dapat dibenarkan.”
Senada dengan hal tersebut di atas Sutan Remy Sjahdeini
(2006 : 57), meyatakan:
Saya berpihak kepada mereka yang mendukung pendapat bahwa
seyogiaya korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun
korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri, tetapi melalui orang atau
orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi.
Demikian pula menurut Ter Heide (D. Scraffmeister, 1994 :
241) yang pengertian pelaku tindak pidana dilepas dari konteks yuridis, Ter
Heide menyatakan :
Jika kita mengikuti metode dari Wittgenstein, yakni
analisis bahasa, maka tampak bahwa tidak hanya ’Adam’ yang dapat melakukan
kejahatan dan membuat sesuatu, bahwa tidak hanya karena kesalahan ’Adam’ suatu
situasi tertentu tercipta. Hal yang sama berlaku juga bagi korporasi. Di dalam
bahasa, korporasi muncul sebagai suatu kesatuan yang dikenal dari etiket
sosialnya, yakni nama dengan mana ia diminta dengan pertanggungjawaban,
dituntut dalam sidang-sidang peradilan, dan juga dinyatakan dapat dipersalahkan
(...). Dilihat dari sudut pandang penamaan, bahkan ’manusia’ juga merupakan
subyek hukum. Dari sudut pandang kedudukan sosial, tidak ditemukan perbedaan
mendasar keduanya. Karena itu juga dari sudut pandang yuridis tidak perlu ada
perbedaan antara ’manusia’ dan korporasi.
Dari beberapa
pendapat di atas maka korporasi (rechtspersoon)
sebagai subjek hukum tindak pidana yang sama halnya dengan manusia (naturlijkke persoon), maka tentunya
pengaturan pidana dan pemidanaan sangat berbeda selaku pelaku tindak pidana
yakni korporasi tidak dapat dijatuhi pidana mati, seumur hidup, penjara,
kurungan, akan tetapi dapat dijatuhi pidana denda sebagai pidana pokok dan
pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa
tahun (1) : 3).
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon