Untuk mencegah dilakukannya tindakan sewenang-wenang oleh aparat dalam suatu proses penyitaan dan juga untuk menghormati kemerdekaan seseorang atas hak untuk dapat menguasai harta benda miliknya, maka pada dasarnya suatu penyitaan harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
Kewenangan
penyitaan atas barang-barang milik tersangka diatur dalam Pasal 38 KUHAP yang
tertulis :
1. Penyitaan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat;
2. Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya.
Dalam
melakukan penyitaan penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang
dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat dimintakan
keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala
Desa atau Kepala Lingkungan dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Menurut
pendapat M. Yahya Harahap (2003:266-268) bahwa secara umum tata cara
pelaksanaan penyitaan yaitu :
1. Harus
ada Surat Izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri.
2. Memperlihatkan
atau menunjukkan Tanda Pengenal.
3. Memperlihatkan
Benda yang akan disita.
4. Penyitaan
dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua
Lingkungan dengan dua orang saksi.
5.
Membuat
Berita Acara Penyitaan.
6.
Menyampaikan
turunan berita acara penyitaan.
7.
Membungkus
benda sitaan.
Persoalan
lain yang harus diperhatikan dalam proses penyitaan tersebut menurut pendapat
Al. Wisnubroto (2005: 50) yaitu :
Sering kali ditemukan Ketua Pengadilan
mempergunakan kewenangan untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu benda
dilakukan penyitaan. Hal tersebut dapat menimbulkan benturan kepentingan antara
penyidik dan Ketua Pengadilan Negeri misalnya perlu tidaknya suatu barang
disita untuk dijadikan sebagai barang bukti.
Tindakan
penyitaan dapat pula dilakukan tanpa izin dari Ketua Pengadilan yaitu apabila
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu. Dalam
hal ini penyidik hanya dapat melakukan penyitaan atas benda bergerak dan untuk
itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya.
Dalam
hal tertangkap tangan semua tindakan penyidik harus dilakukan dengan segera
mungkin termasuk melakukan penyitaan terhadap barang bukti untuk menghindari
adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan mempersulit
pemeriksaan. Penyitaan tersebut tidak perlu menggunakan surat perintah
melainkan cukup dengan diperlihatkan oleh petugas penyidik kepada tersangka
atau orang lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana tersebut.
Berdasarkan Pasal 40 KUHAP, di kemukakan bahwa penyidik dapat menyita benda dan
alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana atau benda lain yang dapat digunakan sebagai barang bukti. Menurut
Dewantara (1987:122) bahwa :
Sesungguhnya ketentuan tersebut
merupakan pengecualian Pasal 33 dan 38 KUHAP yang menekankan bahwa untuk
menggeledah dan melakukan penyitaan harus terlebih dahulu mendapat izin Ketua
Pengadilan Negeri.
Aturan tersebut sebenarnya
sangat membantu kinerja aparat di lapangan karena jika harus menunggu izin
Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu, maka akan memakan waktu dan dikhawatirkan
benda atau barang yang diduga menjadi bukti suatu kejahatan akan dimusnahkan
atau dipindahkan sehingga dapat menghalangi dan mengaburkan proses hukum.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon