KEDUDUKAN KEJAKSAAN RI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas kejakaksaan tetap sama yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara­-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata (Marwan Efendi, 2005:120).

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal  41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan  badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang.

Selanjutnya, Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa:
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2.  Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3.  Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

Mencermati isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan;
2.    Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang;
3.    Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka;
4.    Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik  Indonesia, Pasal 2, menegaskan bahwa:
1.    Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
2.    Kejaksaan adalah salah satu dan tidak  terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.

Dari pengaturan Pasal 2 ayat 1  dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tersebut  dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan;
2.    Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan;
3.    Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan  di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah landasan pelaksaan  tugas dan wewenangnya di bidang  penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan  ciri khas  yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti.

Kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Dalam ayat 2 menyebutkan bahwa Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara. Pasal 3 menetapkan bahwa bahwa Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.
Menilik pengaturan Pasal 1 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum
2.    Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum
3.    Kejaksaan harus menjujung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara
4.    Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan

Dalam Penjelasan Umum undang-undang tersebut, diuraikan bahwa Kejaksaan RI, seperti halnya dengan alat-alat negara lainnya adalah alat revolusi untuk melaksanakan pembangunan nasional semesta yang berencana menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau masyarakat Sosialis Indonesia yang memenuhi amanat penderitaan rakyat, karena negara Republik Indonesia adalah negara Hukum, segala tindakan yang dilakukan oleh  Kejaksaan untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Penjelasan  Pasal ayat 2 dinyatakan  bahwa istilah “menjunjung tinggi” adalah termaksud pengertian “memberi perlindungan”. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam menjalankan  tugasnya, pejabat-pejabat Kejaksaan  harus mengindahkan hubungan hierarki di lingkungan pekerjaannya.
Bila ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia di atas dikomparasi, tampak ada beberapa persamaan namun ada pula perbedaan, yaitu:
1.    Kesamaan ketiga Undang-Undang Kejaksaan  (Undang-Undang No. 16 Tahun  2004,  Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Undang-Undang No.15 Tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan Kejaksaan adalah pertama, Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di bidang penuntutan.

2.    Kesamaaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan  adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berbeda  dari pengaturan Undang-Undang  No. 15  Tahun 1961 yang menegaskan bahwa Kejaksaan  adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut  umum.

3.    Perbedaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No.15  Tahun 1961 terletak pada unsur bahwa “kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka”. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tidak mengatur hal ini.

4.   Perbedaan lainnya adalah Undang-Undang No. 15 tahun 1961 menegaskan secara eksplisit bahwa kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, sementara Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut.

Mencermati pengaturan di atas dapat dijelaskan  bahwa kedudukan kejaksaan sebagai suatu Lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada disuatu kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan  kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia.

Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi  Jaksa seperti yang seperti yang digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors”.

Lebih jauh, dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-Undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual Obligation). Dikaitkan demikian, adalah mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengatur kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung, sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan (Marwan Efendi, 2005:125), Jaksa Agung, sebagai bawahan Presiden, harus mampu melakukan tiga hal, yaitu:
1.   Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum;

2.   Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut; dan

3.  Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah dilaksanakan.


Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut, yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu untuk menunjukkan dedikasi, loyalitas, dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Di sinilah letak kecenderungan ketidakmerdekaan Kejaksaan melakukan fungsinya, tugas, dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan (kemamfaatan) hukum yang menjadi Cita Hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.


Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain, Kejaksaan dipasung karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Disinilah antara lain letak kelemahan pengaturan Undang-Undang ini. Apabila pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan tetap berada dalam lingkungan eksekutif, asalkan Kejaksaan diberdayakan dengan diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun profesional. Apabila Pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu instistusi penegak hukum, didudukkan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen bukan menjadi lembaga pemerintahan yang tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan bersifat independen dan merdeka, dalam arti tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Heri black
AUTHOR
20 Juni 2019 pukul 10.18 delete

Seharusnya memang kejaksaan berdiri sendiri tidak dibawah naungan EKSEKUTIF.agar dalam hal memutuskan penuntuttan bersikap profesional,karna saat ini departemen ini belom profesional.

Reply
avatar