Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan korporasi menyangkut masalah kemampuan bertanggung jawab korporasi, kesengajaan atau kealpaan korporasi, dan alasan pemaaf korporasi .
Kesalahan (schuld)
berkaitan erat dengan kejahatan yang dilakukan oleh manusia alamiah. Hal
tersebut dikarenakan seseorang dapat dipidana tidak cukup dengan melihat orang
itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum, akan tetapi juga harus ada syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan.
Kesalahan merupakan hal yang fundamental dalam pemidanaan.
Orang yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atau orang tersebut mempunyai
kesalahan. Sudarto
(Setiyono, 2005 : 102) menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan terdiri dari:
1.
Adanya
kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit),
artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
2.
Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya
berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa).
3.
Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau
tidak ada alasan pemaaf.
Berbicara mengenai masalah pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi atau kesalahan (schuld)
korporasi maka akan membahas persoalan, bagaimanakah pengaruh asas kesalahan
apabila korporasi yang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana? Berkaitan
dengan hal tersebut Suprapto berpendapat bahwa korporasi bisa dipersalahkan
apabila kesengajaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat
perlengkapannya. Dimana kesalahan itu bukan bersifat individual tetapi kolektif
karena korporasi menerima keuntungan. Sementara itu Van Bemmelen dan Remmelink
berpendapat bahwa korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi
kesalahan pengurus atau anggota direksi. Dari beberapa pendapat tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa untuk mempertanggungjawabkan korporasi, asas tidak ada
pidana tanpa kesalahan (geen starf zondel
schuld) tetap tidak ditinggalkan
(Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 84).
Sementara
itu Roeslan Saleh berbeda pendapat dengan hal tersebut, beliau berpandangan
dualistis. Artinya membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat
dipidananya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana
dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya.
Roeslan Saleh berpendapat asas geen starf
zondel schuld tidak mutlak berlaku, yaitu untuk mempertanggungjawaban
korporasi tidak selalu memperhatikan kesalahan pembuat, akan tetapi cukup
berdasar pada adagium res ipsa loquitoir yaitu
fakta sudah berbicara sendiri (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 87).
Sementara itu Muladi dan Dwidja Priyatno (1991 : 87)
meyatakan bahwa :
…dalam masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan
masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan di bidang hukum, khususnya
hukum pidana yang menyangkut pertanggung jawaban pidana asas kesalahan atau
asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini
cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban
pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium res
ipsa loquitoir, fakta sudah berbicara.
Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi
yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro (Dwidja Priyanto, 2004 : 53), yaitu
:
1.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
2.
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
3.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggung jawab.
Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 58),
terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah :
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku
tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul
pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi sebagai pelaku tindak
pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana
dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
4. Pengurus
dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat
adalah :
1. Apabila hanya pengurus yang dibebani
pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah
menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah
untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan
atau menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.
2. Apabila yang dibebani
pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus
memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus
bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dengan kata lain pengurus akan selalu
dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari
tanggung jawab dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan
pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama
korporasi dan untuk kepentingan korporasi.
3.
Pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara
vikarius, atau bukan langsung.
Sementara
itu ada dua ajaran pokok yang secara umum menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah:
- Doctrine of Strict Liability
(Pertanggungjawaban Mutlak)
E. Sefullah
Wiradipraja (Dwidja Priyatno, 2004 : 107-108) tentang masalah prinsip strict Liabillity menyatakan bahwa:
Prinsip
tanggungjawab (liability without fault)
di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict
liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan
adanya unsur kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab
yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk
dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.
Dianutnya strict Liabillity dalam hukum pidana didasarkan pada tiga premis, ketiga
premis tersebut menurut L.B. Curzon (Hamzah Hatrik, 1996 : 13-14) adalah
sebagai berikut :
1.
Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya
peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;
2.
Pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat;
3.
Tingginga tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh
perbuatan yang dilakukan.
Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief yang dikutip
oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (1991 : 88), doktrin “strict liability”
(pertanggungjawaban yang ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan
untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (Mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan).
Sedangkan mens rea menurut Roeslan Saleh (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 88) “kata ini diambil dari suatu maxim yang
berbunyi : Actus non est reus nisi mens sit rea, yang
maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali
pikirannya adalah salah.”
Pertanggungjawaban
pidana tanpa kesalahan pihak yang melanggar suatu peraturan dikenal dalam
ajaran tindak-tanduk yang nyata-nyata meresahkan masyarakat. Dalam hal
ini Hooge Raad (Mahkamah Agung Belanda) berpendapat (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa
tahun (7) : 8) :
Adalah sudah cukup untuk menyatakan
seseorang itu dapat dipidana tanpa karena telah melakukan suatu pelanggaran,
apabila orang tersebut secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di
dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku
orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
Sementara itu,
senada dengan hal tersebut di atas, Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 78)
mengemukakan doctrine of strict liability, sebagai berikut :
Pertanggungjawaban
pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan
tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada
pelaku. Oleh karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak
dipermasalahkan.
- Doctrine of Vicarious Liability
(Pertanggungjawaban Pengganti)
Dalam membahas
masalah pertanggungjawaban pidana korporasi juga dikenal sistem
pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas
tindakan orang lain (a vicarious
liability is one person, though without personal fault, is more liable for the
conduct of another).
Vicarious liability
menurut Barda Nawawi Arief (Dwidja Priyanto, 2004 : 101), diartikan
pertanggungjawaban hukum atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain.
Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.
Dari pendapat tersebut di atas, maka
dapat dijelaskan bahwa doktrin vicarious
liabilility, pertanggungjawaban
pidana seseorang dapat dibebankan kepada
orang lain atas perbuatan dan kesalahan orang lain tersebut. Pertanggungjawaban
seperti ini hampir semua dapat kita temukan pada delik pelanggaran terhadap
undang-undang, dan maksud dari pembuat undang-undang tersebut (sebagaimana
dapat kita baca dari ketentuan di dalamnya) bahwa delik ini dapat dilakukan
baik secara vicarious maupun secara
langsung, atau dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Menurut doktrin ini, majikan atau employer adalah penaggungjawab utama dari perbuatan para
buruh/karyawannya yang telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup
tugas/pekerjaannya.
Menurut Boisvert, penerapan doktrin
ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan
subordinasi antara pemberi kerja (employer)
dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang
pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat
menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu untuk
dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu
kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dapat dipastikan apakah seorang
pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang
sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka
tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas
perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat diketahui dengan jelas apakah
perbuatan pelaku tindak pidana memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya (Sutan
Remy Sjahdeini, 2006 : 87)
Sign up here with your email
1 komentar:
Write komentarPrediksi Togel Mekong 23 Mei 2020 <a href="https://indextogel.org/prediksi-togel/prediksi-togel-mekong-23-mei-2020/ </a> Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon