SEJARAH KEJAKSAAN

Dahulu baik di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain) maupun di Indonesia tidak mengenal adanya suatu lembaga penuntutan dalam hal ini adalah kejaksaan yang tugasnya khusus untuk atas nama atau masyarakat yang mengadakan tuntutan pidana terhadap pelaku delik. Pada masa itu tidak ada perbedaan antara perdata dan pidana. pihak yang drugikan yang melakukan tuntutan pidana kepada hakim.

Di Indonesia dahulu dikenal pejabat Negara yang disebut adhyaksa. Adhyaksa berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan sebagai jaksa, akan tetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim karena dahulu tidak dikenal adanya lembaga penuntutan.
Andi zainal abidin farid (Djojo Prakoso, 198813) mengartikan Adhyaksa dalam berbagai arti seperti:
1.    Superintendant atau superindance.

2.  Pengawas dalam urusan kependekatan, baik agama Budha maupun Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan sekitar istana.

3.  Disamping itu juga bertugas sebagai hakim dan sebagai demikian ia berada dibawah perintah serta pengawasan mahapatih.

4.   “Adhyaksa” sebagai hakim sedangkan “dharmaadyaksa” sebagai “opperechter” nya.

5.    Adhyaksa” sebagai ”rechter van instructie bijde lanraad”, yang kalau dihubungkan dengan jabatan dunia modern sekarang dapat disejajarkan dengan Hakim Komisaris.


Dari uraian diatas, maka jabatan jaksa sesungguhnya mempunyai kewenangan yang luas. Fungsi senantiasa dikaitkan dengan bidang yudikatif bahkan pada masanya hubungkan pula dengan bidang keagamaan.

Dahulu adhyaksa tidaklah sama dengan tugas utama penuntut umum dewasa ini lembaga penuntut umum seperti sekarang ini tidak bertugas sebagai hakim seperti adhyaksa dahulu kala, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu penyidikan perkara, penuntutan dan melakukan tugas sebagai “Hakim Komisaris”.

Penuntut umum dengan kekuasaan dan organisasi seperti sekarang ini berasal dari Perancis. Belandalah yang bercermin kepada sistem Perancis, melalui dan mulai asas konkordansi membawanya pula keindonesia, terutama dengan paket perundang-undangan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.

Diciptakan suatu jabatan yang disebut Procuceur General (seperti Jaksa Agung sekarang). Disamping itu dikenal pula istilah of ficieren van justitie sebagai penuntut umum bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan. Dalam inlands reeglement dikenal Megistraat sebagai penuntut umum, tetapi belum berdiri sendiri diperintah oleh Residen dan Asisten Residen.

Sesudah Inlands Reeglement diubah menjadi HIR pada tahun 1941, barulah dikenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri dibawah Procureur General, bagi orang Bumiputra, itu pun dalam prakteknya, karena masis kurangnya sarjana hukum pada masa itu, maka di kota-kota jabatan Magistraat itu masih dirangkap oleh Asisten Residen.

Belanda sendiri baru pada tanggal 18 April 1827 ketika berlakunya Rrechterlijke Organisatie en het beleid der justitie, diadakan lembaga penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem Perancis. Suatu asas yang terpenting dari penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeelbarheid) dan bergantungnya pada kekuasaan eksekutif.

Sejak masa pemerintahan Jepang, nampaknya para jaksa memiliki kembali statusnya yaitu sebagai penuntut umum yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten Residen segera dihapuskan. Situasi yang demikian mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam penuntutan perkara pidana diberikan  kepada  Jaksa dengan jabatan Tio Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, serta berada dibawah pengawasan Koo Too  Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan Tinggi.

Selanjutnya dengan Osamurai No. 49, Kejaksaan dimasukkan dalam wewenang Cianbu atau Departemen Keamanan Dengan demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut umum), dan menjalankan putusan hakim (pegawai eksekusi).

Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk mengatasi situasi tersebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang kedudukan kejaksaan pada pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap memakai peraturan lama seperti sebelum Indonesia merdeka. Dengan maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang dahulunya masuk Departemen Keamanan atau Cianbu di pindah kembali ke dalam Departemen Kehakiman atau Shihoobu.

Ketika itu Kejaksaan yang pernah bersama dengan Kepolisian dalam naungan Departemen Dalam Negeri, kemudian memisahkan diri masuk berintegrasi ke dalam Departemen Kehakiman R.I.

Dengan kembalinya Kejaksaan ke dalam Departemen Kehakiman maka cocok dan tugas kewajiban para jaksa yang diberikan ketika pendudukan tentara Jepang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2, telah menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang tersebut diganti.

Dengan demikian, sejak proklamasi kemerdekaan, tugas Openbaar Ministerie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap Pengadilan Negeri menurut HIR (Herziene Inlandsch Reglemeent), dijalankan oleh Magistraat, oleh karena itu perkataan Magistraat dalam HIR diganti dengan sebutan Jaksa, sehingga Jaksa pada waktu adalah sebagai Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri.


Dalam perkembangan selanjutnya setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok   Kejaksaan Republik Indonesia, maka Kejaksaan keluar dari Departemen Kehakiman Republik Indonesia dan berdiri sendiri sampai sekarang.
Previous
Next Post »