1. Jenis Teori Pembuktian
Sistem
pembuktian pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara menggunakan
hasil dari pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa dan dari hasil
pembuktian tersebut dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Menurut
Ansorie Sabuan (1990:186-189) bahwa dalam teori dikenal adanya 4 sistem
pembuktian, yaitu :
1.
Sistem
Keyakinan Hakim Belaka
Dalam sistem ini hakim dianggap cukup
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan hukum, jadi dengan sistem ini hakim dapat mencari
dasar putusannya menurut perasaannya semata-mata untuk menentukan apakah
seseorang bersalah atau tidak dan apakah perbuatannya terbukti atau tidak.
Hanya saja yang
perlu diperhatikan terhadap sistem ini adalah tidak menutup kemungkinan timbul
persoalan-persoalan pribadi seorang hakim dalam menjatuhkan putusan tanpa harus
mendasarkan putusannya pada pertimbangan-pertimbangan hukum.
2.
Sistem
Menurut undang-undang yang positif (positief
wettelijk)
Sistem ini dengan jelas menentukan
alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat
mempergunakannya, asal alat bukti itu telah dipakai sesuai undang-undang, maka
hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara
yang diperiksanya, walaupun mungkin hakim belum yakin atas kebenaran putusannya
itu.
Dalam sistem ini
sepertinya hakim hanyalah alat untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tanpa
diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai dengan keyakinannya apakah dengan
alat bukti yang ada benar-benar membuktikan tindak pidana tersebut, dan sistem
ini juga menimbulkan putusan yang semena-mena karena hakim hanya mendasarkan putusannya
pada alat bukti yang ada.
3.
Sistem
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatieve wettelijke)
Berdasarkan teori ini hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
183 KUHAP.
Sistem ini
menuntut hakim untuk dapat menyatakan seseorang bersalah jika telah dapat
dipenuhinya syarat-syarat bukti menurut undang-undang ditambah dengan keyakinan
hakim tentang kesalahan yang dilakukan terdakwa, jadi walaupun sudah terdapat
alat bukti yang cukup tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka
hakim akan membebaskan terdakwa begitu pun sebaliknya.
4.
Sistem
Pembuktian Bebas (vrij bewijstheorie)
Menurut teori ini ditentukan bahwa
hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan
sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang termaktub dalam
undang-undang, melainkan hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat
bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tetap menurut
logika
Dalam teori ini
alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan di tentukan secara limitatif
dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa
berdasarkan teori-teori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara
pembuktiannya, hanya saja tidak disebutkan secara jelas dalam
undang-undang.
Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo (Bambang Waluyo, 1992:7) membagi sistem pembuktian
dalam 3 golongan yaitu :
1.
Teori
pembuktian Bebas
Teori ini tidak
menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya.
2.
Teori
Pembuktian Negatif
Menurut teori ini
harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa
ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
3.
Teori
Pembuktian Positif
Di samping adanya
larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim, di sini hakim
diwajibkan untuk berbuat tetapi dengan beberapa syarat khususnya dengan
menggunakan alat bukti.
Khusus
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya sistem pembuktian terbalik
seperti yang diatur dalam Pasal 37 yang tertulis :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
2.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Korupsi
Unsur-unsur
tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian tindak pidana
korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik
tindak pidana korupsi seperti di kemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak
pidana korupsi yang dapat penulis inventarisir dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 adalah :
1. Tindakan
seseorang atau badan hukum melawan hukum
2. Tindakan
tersebut menyalahgunakan wewenang.
3. Dengan
maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain.
4. Tindakan tersebut merugikan negara atau
perekonomian Negara atau patut
diduga merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya
perbuatan curang tersebut.
10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
11. Dengan menggelapkan,menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan
membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
12. Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang
atau korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka
kepadanya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat
dan dipahami bahwa unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui
karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelakunya
kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya
penyebab sehingga seorang terdakwa koruspi bebas dari jeratan hukum karena
tidak terpenuhinya unsur- unsur tersebut.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon