Pidana berasal dari kata straf dari bahasa Belanda, yang biasa diartikan sebagai hal yang dipidanakan atau ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana itu sendiri. Pidana di pandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu tindak pidana.
Menurut
Sudarto, menyatakan bahwa (Muladi Dan Barda Nawawi Arif:1984):
Pidana adalah reaksi atas delik, dan
ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
delik itu.
Selanjutnya
menurut Chazawi Adami, menyatakan bahwa : (Chazawi
Adami:2002):
Pidana adalah lebih tepat didefinisikan
sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada
seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum pidana. Secara khusus
larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbarfeit).
Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut
terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum
yang dilindungi.
Pada
saat ini oleh masyarakat umum telah diterima pendapat bahwa negaralah yang
berhak memidana dengan perantaraan aparatur hukum pemerintahan. Oleh karena
negara mempunyai kekuasaan, maka pidana yang dijatuhkan hanyalah suatu alat
untuk mempertahankan tata tertib negara. Negara harus mengembalikan ketentraman
apabila ketentraman itu terganggu dan harus mencegah perbuatan-perbuatan yang
melanggar hukum. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Hans, bahwa :
Sanksi itu di ancamkan terhadap seorang
individu yang perbuatannya dianggap oleh pembuat Undang-undang mebahayakan
masyarakat, dan oleh sebab itu pembuat Undang-undang bemaksud untuk mencegahnya
dengan sanksi tersebut.
Pada
zaman Yunani dahulu oleh Plato mengemukakan bahwa “tujuan pemidanaan bukanlah
pembalasan, tetapi menakut-nakuti dan memperbaiki orang serta tercapainya
keamanan”. Sedangakan Aristoteles berpendapat bahwa tujuan pidana adalah
“menakut-nakuti serta memperbaiki orang”. Pada abad pertengahan Thomas Aquino,
sebagai seorang ahli filsafat sebenarnya mempertahankan pendapat Aristoteles
yang antara lain berpendapat bahwa tujuan pidana ialah “ bukanlah pebalasan
semata-mata tetapi disesuaikan dengan tujuan negara yaitu kesejahteraan serta
memperbaiki dan menakutkan” (Efendy Rusli:1986).
Sehubungan
dengan tujuan pemidanaan tersebut Sneca, seorang filosof Romawi yang terkenal
sudah membuat formulasi yakni nemo
prudens puint quia peccatum est, sed ne peccetur, yang artinya adalah tidak
layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud
agar tidak terjadi lagi perbuatan yang salah (Priyanto Dwijaya:2006).
Begitu
pula Jeremy Benthanm dan sebagian besar
penulis modern yang lain selalu menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah
“untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang”. Di lain
pihak Immanuel Kant dan Gereja Katolik sebagai pelopor menyatakan, bahwa
“pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan
kejahatan atas ketertiban sosial dan moral”.
Sebagaimana
tujuan pemidanaan tersebut di atas, di dalam literatur berbahasa Inggris tujuan
pidana biasa disingkat dengan tiga R (Reformation,
Restrain, dan Retribution) dan satu D (Deterrence
dan general deterrence).
Menurut
Andi Hamzah menyatakan bahwa (Hamzah Andi:1994) :
Reformasi berarti memperbaiki atau
merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.
Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika
penjahat menjadi baik. Reformasi itu perlu digabung dengan tujuan yang lain
seperti pencegahan.
Sementara
H.R. Abdussalam, menyatakan bahwa (Abdussalam:2006) :
Tujuan pemidanaan reformatif adalah
memperbaiki kembali para narapidana. Teori ini mempunyai nama lain antara lain
: rehabilitasi, pembenahan, perlakuan (perawatan). Usaha untuk memberikan
program selama pemulihan benar-benar diarahkan kepada individu narapidana.
Untuk
tujuan pidana restraint, Andi Hamzah
menyatakan bahwa:
Restraint adalah mengasingkan
pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari
masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.
Pada
tujuan pemidanaan retribution, Andi
Hamzah menyatakan bahwa :
Retribution adalah pembalasan terhadap
pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
Sehubungan
dengan tujuan pemidanaan retibutif, Hr. Abdussalam, mengemukakan bahwa :
Retributif tidak lain ialah penebusan
dosa, penebusan dosa bagi orang yang berbuat dosa,karena melakukan perbuatan
melawan masyarakat dengan penggantian kerugian. Pidana diberikan kepada
pelanggar, karena hal ini merupakan apa yang sepantasnya dia peroleh sehubungan
dengan pelanggarannya terhadap hukum pidana. Penggantian kerugian merefleksikan
kehendak atau keinginan masyarakat akan balas dendam.
Dalam
tujuan pemidanaan deterrence, Andi
Hamzah, menyatakan bahwa :
Deterrence berarti menjera atau mencegah
sehingga baik terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial
menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahtan, melihat pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Sedangkan
Michael J. Allen, menyatakan bahwa :
Deterrence terdiri dari particullar
deterrence dan general deterrence. Particullar deterrence, mencegah pelaku
tindak pidana kembali di masa mendatang ataupun general deterrence yakni
mencegah para pelaku tindak pidana lain yang mungkin untuk melakukan tindak
pidana melalui contoh yang di buat dari masing-masing pelaku tindak pidana
tertentu.
Berkaitan
dengan dengan tujuan pidana yang garis besarnya disebut di atas, maka muncullah
teori-teori mengenai hal tersebut. Terdapat tiga golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :
a. Teori
absolut atau teori pembalasan (retributif / vergeldings theorien).
b. Teori
relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorien).
c. Teori
gabungan (verinigings theorien).
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana
tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan
itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk menjatuhkannya pidana. Pidana
secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk
memikirkan manfaat untuk mejatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus
berakibat dijatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan. Oleh karena itulah teori
ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat dari suatu
pidana adalah pembalasan semata.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif
pada teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu tindak pidana atau kejahatan. Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan
harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tiidak, tanpa tawar-menawar, seseorang
mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.
Selanjutnya Adami Chazawi memaparkan
bahwa dasar pijakan dari teori adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana itu kepada penjahat. Alasan negara
sehingga mempunyai hak menjatuhkan pidana ialah karena penjahat tersebut telah
melakukan gangguan dan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Tidak di lihat akibat-akibat apa
yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, dan tidak memperhatikan dampak
yang terjadi kepada penjahat itu ataupun masyarakat dalam penjatuhan pidana
itu. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis,
tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Di dalam buku E.Y. Kanter
dan S.R. Sianturi Teori pembalasan ini terbagi atas lima, yaitu sebagi
berikut (Kanter E.Y. Dan S.R. Sianturi:2002):
1. Pembalasan
berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica
(moraal philosofie).
Teori ini dikemukakan oleh
Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak
dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. Ahli filsafat ini mengatakan
bahwa dasar pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari kesusilaan kepada seorang
penjahat yang telah merugikan orang lain.
2.
Pembalasan “bersambut”
(dialektis).
Teori ini dikemukakan oleh
Hegel, yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan,
sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan.
3.
Pembalasan demi “keindahan”
atau kepuasan (aesthetisch).
Teori ini dikemukakan
oleh Herbart, yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak
dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk
memidana penjahat,, agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi atau rasa
keindahan masyarakat terpulihkan kembali.
4.
Pembalasan sesuai dengan
ajaran Tuhan(Agama).
Teori ini dikemukakan
oleh Dthal, (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino) yang mengemukakan, bahwa
keajahatan merupakan pelanggaran terhadap pri-keadilan Tuhan dan harus
ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi
terpeliharanya keadilan Tuhan.
5.
Pembalasan sebagai kehendak
manusia.
Para sarjana dari
mashab hukum alam yang memandang negara
sebagai hasil dari kehendak manusia, mendasarkan pemidanaan juga sebagai
perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan
alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang
jahat. Penganut teori ini antara lain adalah Jean Jacques Roesseau, Grotius,
Beccaria dan lain sebagainya.
Teori tentang tujuan
pidana yang kedua adalah teori relatif. Teori mencari dasar hukum pidana dalam
menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi
terjadinya kejahatan. Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memutuskan
tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, menyatakan
bahwa :
Pidana
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
teory). Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia
peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum ( supaya orang jangan
melakukan kejahatan).
Menurut J. Andenas,
teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Sedangkan
Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive foint of view) karena
dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan. Oleh karena itu penganutnya dapat disebut golongan Reducers
(penganut teori reduktif).
Menurut Adami Chazawi,
mengemukakan bahwa :
Teori relatif atau tujuan berpangkal pada dasar bahwa
pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk mengakkan tata tertib itu
diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,
dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.
Selanjutnya menurut
teori ini tujuan pidana adalah mengamankan masyarakat dengan jalan menjaga
serta mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam menjaga serta mempertahankan
tata tertib masyarakat ini, maka pidana itu adalah bertujuan untuk
menghindarkan pelanggaran norma-norma hukum. Untuk menghindarkan pelanggaran
norma-norma hukum ini, pidana itu dapat bersifat menakuti, memperbaiki dan
dapat juga bersifat membinasakan.
Sehubungan dengan
sifat pidana tersebut Leden Marpaung, memaparkan sebagai berikut :
a. Menjerakan
Dengan penjatuhan
pidana, diharapkan sipelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi
lagi perbuatannya (speciale preventive)
serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan pebuatan sebagaimana
dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventive).
b.
Memperbaiki pribadi
terpidana
Berdasarkan perlakuan
dan pendidikan yang diberikan selama menjalani pidana, terpidana merasa
menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada
masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
c.
Membinasakan atau membuat
terpidana tidak berdaya.
Membinasakan berarti
menjatuhkan hukuman mati, sedangakan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan
dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Jadi menurut teori
relatif pidana ini sebenarnya bersifat menghindarkan (prevensi) dilakukannya pelanggaran hukum. Sifat prevensi
dari pidana terbagi atas dua bagian yakni prevensi khusus dan prevensi umum.
Prevensi khusus berkaitan dengan maksud dan tujuan pidana ditinjau dari segi
individu, karena prevensi khusus ini bermaksud juga supaya si tersalah sendiri
jangan lagi melanggar. Menurut prevensi khusus tujuan pidana tidak lain ialah
bermaksud menahan niat buruk pembuat, yang didasarkan kepada pikiran bahwa
pidana itu dimaksudkan supaya orang yang bersalah itu tidak berbuat kesalahan
lagi.
Seperti halnya yang
dikemukakan oleh Van Hammel dari Belanda bahwa tujuan pemidanaan, selain untuk
mempertahankan ketetiban masyarakat, juga mempunyai tujuan kombinasi untuk
melakukan (ofschrikking), memperbaiki
(verbetering) dan untuk kejahatan
tertentu harus membinasakan (onskchadelijkmaking).
Tujuan pemidaanaan
memperbaiki sipenjahat, agar menjadi manusia yang baik. Menjatuhkan pidana
harus disertai pendidikan selama menjalani pidana. Pendidikan yang diberikan
terutama untuk disiplin dan selain itu diberikan pendidikan keahlian seperti
menjahit, bertukang dan lain sebagainya, sebagi bekal setelah selesai menjalani
pemidanaan. Cara perbaikan penjahat dikemukakan ada tiga macam yaitu perbaikan,
intelektual, dan perbaikan moral serta pebaikan yuridis.
Prevensi umum
bertujuan untuk mencegah orang pada umumnya jangan melanggar karena pidana itu
dimaksudkan untuk menghalang-halangi supaya orang jangan berbuat salah. Teori
prevensi umum mengajarkan bahwa untuk mempertahankan ketertiban umum pada kaum
penjahat, maka penjahat yang tertangkap harus dipidana berat supaya orang laian
takut melanggar peraturan-peraturan pidana.
Dalam teori prevensi
umum ini, tujuan pokok yang hendak dicapai adalah pencegahan yag ditujukan
kepada khalayak ramai atau semua orang agar tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban masyarakat. Menurut H.B. Vos, menyatakan bahwa “teori
prevensi umum bentuknya berwujud pemidanaan yang mengandung sifat menjerakan
atau menakutkan”.
Dengan adanya
keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, maka lahir aliran ketiga
yang didasarkan pada jalan pemikiran bahwa pemidanaan hendaknya didasarkan atas
tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang
diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya
tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur yang ada.
Menurut
Grotius, menyatakan bahwa :
Teori gabungan ini
sebagai pemidanaan berdasarkan keadilan absolute, “de absolute gerechtighaeid” yang berwujud pemabalasan terbatas
kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat dan dikenal dengan bahasa latin “piniendus nemo est iltra meritum, intra
meriti vero modum magis out minus peccata puniuntur pro utilitate”, artinya
tidak seorangpun yang dipidana sebagai ganjaran, yang diberikan tentu tidak
melampaui maksud, tidak kurang atau tidak lebih dari kefaedahan.
Teori
ini adalah kombinasi antara penganut teori pemabalasan dan teori tujuan, yaitu
membalas kejahatan atau kesalahan penjahat
dan melindungi masyarakat; dan kedua tujuan ini disusul dengan memidana.
Ada
yang mengutamakan tujuan membalas, agar kejahatan itu dibalas dengan pidana
yang lebih berat daripada melindungi masyarakat. Yang lain berpendapat bahwa
tujuan pidana yang pertama ialah melindungi masyarakat, akan tetapi untuk
mencapai tujuan itu tidak boleh dijatuhkan pidana lebih berat daripada membalas
kesalahan pembuat atau kesengsaraan yang diadakan olehnya.
Sementara Van
Apeldorn, menyatakan bahwa :
Teori
gabungan ini tepat benar karena mengajarkan bahwa pidana diberikan baik quia peccatum est (karena orang membuat
kejahatan) maupun nepeccatur (supaya
orang jangan membuat kejahatan).
Dan
akhirnya dikatakan bahwa asas pembalasan yang kuno tidak berlaku lagi, malah
diantara mereka yang masih menganggapnya penting, ada kesediaan untuk
memperhatikan aspek-aspek social defence
dari pidana.
Untuk
membandingkan dengan teori-teori tentang tujuan pemidanaan seperti yang
dikemukakan di atas, maka dalam rancangan undang-undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana 1982 dapat dijumpai gagasan tentang maksud tujuan
pemidanaan dalam rumusan sebagai berikut :
1. Untuk mencegah dilakukannya
tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.
2.
Untuk membimbing agar
terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna,
serta mampu untuk hidup bermasyarakat.
3. Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai pada masyarakat.
4.
Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenangkan merendahkan martabat manusia
melainkan untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon